-000-
Bayangkan pagi yang cerah di Jakarta, di lantai dasar Gedung Kejaksaan Agung. Seorang tokoh modern melangkah tenang di tengah sorotan kamera dan suasana yang tegang: Nadiem Anwar Makarim.
Ia sosok yang kerap disebut jembatan antara semangat startup dan dunia pemerintahan.
Namun pagi itu bukan tentang capaian digital, melainkan tentang penetapan tersangka korupsi. Ia dituduh bermain dalam proyek pengadaan Chromebook senilai hampir Rp 1,98 triliun.
Sorot lampu itu menimpa bukan hanya seorang pria berjas rapi, tapi juga simbol harapan generasi baru yang tiba-tiba terguncang.
-000-
Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem sebagai tersangka terkait pengadaan Chromebook saat menjabat Menteri Pendidikan (2019–2024).
Ia dituduh:
• menyalahgunakan kewenangan dengan mengatur spesifikasi teknis yang hanya cocok untuk Chromebook, setelah enam kali bertemu perwakilan Google Indonesia.
• tetap memberikan proyek meski uji coba sebelumnya gagal, mengabaikan kesiapan internet di daerah tertinggal.
• menimbulkan potensi kerugian negara hampir Rp 1,98 triliun dari total program sekitar Rp 9,5 triliun.
Untuk penyidikan, ia ditahan 20 hari di Rutan Salemba sejak 4 September 2025.
-000-
Nadiem dikenal sebagai anak muda visioner pendiri Gojek pada 2010. Dari ojek panggilan telepon, lahir super app decacorn pertama Indonesia.
Gojek mengubah gaya hidup jutaan orang: transportasi, makanan, pembayaran, hingga logistik.
Karier politiknya pun menanjak cepat. Pada 2019, ia dipercaya memimpin Kementerian Pendidikan.
Proyek Chromebook awalnya terlihat sebagai puncak ambisi digitalisasi pendidikan—cita-cita mulia di atas kertas. Kini, ia menjadi sorotan penuh tanda tanya.
Proyek ini tak hanya menelan korban di Indonesia, tapi juga di negara lain.
Proyek Chromebook muncul di tengah dorongan digitalisasi pendidikan selama pandemi. Banyak negara meningkatkan investasi teknologi pendidikan.
Pada tahun 2024, ChromeOS menguasai sekitar 58% pangsa pasar perangkat pendidikan global, dengan dominasi terbesar di Amerika Serikat.
Di India, Google dijatuhi denda antitrust sebesar $113 juta pada 2022 karena praktik monopolistik ekosistem Android dan Play Store.
Ini memang bukan langsung terkait kebijakan pengadaan Chromebook pendidikan.
Fenomena ini memperlihatkan risiko ketergantungan pada teknologi raksasa global saat kebijakan belum diimbangi regulasi persaingan yang kokoh.
-000-
Kisah Nadiem mengingatkan kita pada pola klasik: inovator yang masuk ke gelanggang politik, membawa harapan, lalu terjerembab oleh birokrasi dan kepentingan.
Mengapa ini sering terjadi?
1. Benturan Inovasi dan Birokrasi
Inovator terbiasa cepat, adaptif, dan berbasis data. Birokrasi justru lamban, prosedural, dan penuh aturan.
Ketika keduanya bertemu, gesekan tak terhindarkan, mudah dipolitisasi.
2. Godaan Korporasi Global
Bermitra dengan raksasa dunia memberi aura modernisasi.
Namun tanpa pengawasan, batas antara kolaborasi untuk bangsa dan kolusi demi keuntungan pribadi sangat tipis.
3. Ekspektasi Publik yang Melambung
Rakyat berharap inovator menjadi penyelamat: bersih, teknokratik, moralis.
Saat figur itu jatuh, yang runtuh bukan hanya citra pribadi, tapi juga kepercayaan kolektif.
-000-
Mengingat Nadiem, kita teringat kisah Eike Batista—dulu disebut "Elon Musk of Brazil".
Ia pernah dielu-elukan sebagai ikon modernisasi. Kekayaannya menembus miliaran dolar, proyeknya menjanjikan Brasil baru.
Namun ambisi membawanya masuk ke lingkar politik, membiayai proyek negara, berjejaring dengan pejabat.
Jalan itu membuka ruang gelap: suap, kolusi, janji palsu.
Ia akhirnya divonis korupsi, kerajaannya runtuh, dan hidupnya berakhir di penjara. Dari singgasana Forbes, ia jatuh ke sel sempit.
Kisah Eike adalah pelajaran keras: energi dan mimpi besar tanpa integritas justru menjadi bumerang.
-000-
Kasus Nadiem—meski belum terbukti—sudah cukup mengguncang. Ia mengajarkan satu hal: inovasi tanpa integritas sistemik adalah pedang bermata dua.
Korupsi bukan sekadar kelemahan moral individu. Ia lahir dari insentif dan celah institusional.
Selama struktur memberi peluang, praktik itu akan berulang meski pejabat berganti.
Di sinilah gagasan Susan Rose-Ackerman relevan: solusi bukan hanya menghukum individu, tapi memperbaiki aturan main.
Transparansi, checks and balances, insentif birokrasi, serta peran masyarakat sipil adalah fondasi utama.
Fukuyama menambahkan: tata kelola modern membutuhkan tiga pilar serentak—negara kuat, supremasi hukum, dan akuntabilitas demokratis.
Tanpa keseimbangan itu, inovasi akan mudah tergelincir menjadi tragedi.
-000-
Apa jalan keluarnya?
Kita butuh arsitektur kelembagaan baru:
• Transparansi digital dalam setiap pengadaan.
• Partisipasi publik berbasis open data.
• Audit independen berlapis.
• Pencegahan konflik kepentingan antara pejabat dan mitra korporasi.
Belajar dari Estonia, dengan e-governance terbaik dunia, blockchain dipakai untuk pengadaan barang pemerintah.
Setiap tahap tercatat permanen, publik bisa mengakses, dan smart contract mencegah manipulasi.
Bayangkan bila sistem ini diterapkan di Indonesia, dipadu AI untuk audit real-time.
Korupsi akan jauh lebih berisiko daripada menguntungkan.
Namun, reformasi digital bukan sekadar soal teknologi, melainkan kesiapan ekosistem politik dan sosial.
Indonesia butuh infrastruktur internet merata, komitmen politik lintas rezim, perlindungan whistleblower, serta kesediaan birokrasi untuk diaudit publik.
Tanpa prasyarat ini, blockchain atau AI audit hanya menjadi jargon teknokratis tanpa daya ubah nyata.
-000-
Mari kita renungkan: dunia tidak butuh pahlawan instan. Ia butuh sistem yang kokoh.
Setiap pelajar, guru, pelaku ekonomi digital, maupun pemimpin bangsa, ikut berbagi tanggung jawab. Agar inovasi tetap berpijak pada integritas, bukan sekadar ambisi.
Sejarah tidak hanya mencatat siapa yang naik setinggi langit. Ia juga mengingat siapa yang tetap tegak menjaga kejujuran ketika badai kuasa menghantam.**
Jakarta, 5 September 2025
Referensi
1. Rose-Ackerman, Susan. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. Cambridge University Press, 1999.
2. Fukuyama, Francis. Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy. Farrar, Straus and Giroux, 2014.