Rabu, 01 Februari 2017

BPK Temukan Kerugian Negara Sekitar 500 Milyar Rupiah, Pada Kasus Pertamina Trans Kontinental

BPK Temukan Kerugian Negara Sekitar 500 Milyar Rupiah, Pada Kasus Pertamina Trans Kontinental
Inline image
Kejaksaan Agung disebutkan tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan dan operasi kapal di PT Pertamina Trans Kontinental, salah satu anak usaha PT Pertamina (Persero).

Kendati mengaku menyelidiki, tetapi mereka belum menjelaskan soal detail potensi kerugian negara akibat kasus tersebut.

Meski demikian, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, sedari awal proses pengadaan kapal sudah bermasalah. Pemegang tender, sesuai laporan itu disebut tak kredibel dan dianggap kurang berpengalaman.

Dalam perkara pengadaan dua kapal yakni kapal AHTS Transko Andalas dan Transko Celebes misalnya, broker yang digunakan oleh anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut dianggap tak kredibel, pemenang tender yakni PT VMB pun baru dibentuk pada 2011.

Tak hanya itu, audit tersebut menjelaskan, selain masalah kredibilitas pemegang tender, nilai proyek pengadaan kapal AHTS Transko Andalas dan Celebes yang mencapai US$28 juta dianggap terlalu mahal. Padahal menurut audit itu, harga per unit kapal hanya sekitar US$7 juta. Sehingga untuk dua kapal jumlah anggaran seharusnya senilai US$14 juta.

Hal serupa juga terjadi dalam pengadaan dua kapal lainnya yakni kapal AHTS Balihe dan Moloko, yang nilai proyeknya juga mengalami kemahalan senilai US$14 juta.

Adapun, dalam hal itu, BPK menengarai, potensi kemahalan yang berimplikasi pada dugaan kerugian negara tersebut disebabkan, oleh perhitungan yang tidak berjenjang dan sumber harga yang digunakan sebagai parameter tak jelas.

Selain masalah pengadaan tender, potensi kerugian negara lainnya juga disebabkan oleh kerusakan dan ketiadaan kapal pengganti. Akibatnya, anak usaha perusahaan pelat merah itu mengalami kerugian senilai US$277,221.

Adapun jika dirunut, disamping proyek pengadaan kapal, potensi kerugian lain di PT Pertamina Trans Kontinental di antaranya kurang optimalnya PMS dan penentuan spesifikasi barang yang mengakitbatkan hilangnya pendapatan charter senilai US$1,5 juta dan timbulnya biaya bunker senilai Rp3,3 miliar. Ketidakoptimalan kapal juga menyebabkan perusahaan pelat merah itu kehilangan pendapatan US$228.135.

Sementara itu keterlambatan delivery harbour tug dan geumgang shipyard membuat perusahaan itu membayar tambahan biaya kapal pengganti senilai Rp4,8 miliar. Adapun berbagai bentuk kerugian-kerugian tersebut, sesuai laporan itu telah disetujui oleh pimpinan Pertamina Trans Kontinental.

Kasus itu pun saat ini tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Senin kemarin, penyidik kejaksaan berencana memintai keterangan Wakil Direktur Utama Pertamina, Ahmad Bambang. Penyidik kejaksaan membutuhkan keterangan dari Ahmad Bambang, karena dia pernah menjabat sebagai Presiden Direktur anak usaha perusahaan minyak pelat merah tersebut.

Hanya saja, ketika pemanggilan dilakukan, Ahmad Bambang tidak memenuhi panggilan penyidik kejaksaan. Kendati demikian, mereka memastikan, jika dibutuhkan, penyidik akan memanggil kembali, petinggi Pertamina itu.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro dalam keterangannya Selasa (31/1) kemarin mengatakan, Pertamina selaku induk perusahaan sangat menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.

Kendati demikian, mereka tetap menerapkan praduga tak berasalah. Misalnya dalam kasus PT Pertamina Trans Kontinental, kasus tersebut sampai saat ini masih dalam tahap penyelidikan. Karena masih penyelidikan, kasus itu mereka serahkan ke penegak hukum.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar